Hasil Pencarian Gambar Semar Mesem
Maaf, barangnya tidak ketemu
Coba cek lagi kata pencarianmu.
Belanja di App banyak untungnya:
Jadi Persembahan untuk Belanda
Tongkat Kiai Cokro tak jadi bagian dari benda-benda Pangeran Diponegoro yang dirampas Belanda seiring penyergapannya di Magelang lantaran ia sempat dibawa lari salah satu pengikut Pangeran Diponegoro. Namun, masih samar siapa yang membawa lari tongkat itu. Apalagi kemudian Tongkat Kiai Cokro diketahui berpindah tangan dari pengikut Pangeran Diponegoro itu ke Raden Mas Papak atau yang lebih dikenal sebagai Pangeran Adipati Notoprojo.
“Natapraja (Notoprojo, red.) seperti Dipanegara, adalah cucu dari Sultan Hamengkubuwono II. Saat Perang Jawa, ia menjadi pengikut Dipanegara (Diponegoro) tapi membelot ke pihak Belanda pada 1827. Pada 11 Agustus 1829 di akhir perang, ia jadi mediator para pengikut Diponegoro lain untuk berpihak pada Belanda, bersamaan dengan tongkat Dipanegara. Tongkat itu sebelumnya dibawa lari seorang pengikut Dipanegara yang kabur usai kalah Perang Jawa,” tulis Pauline Lunsingh Scheurleer dalam Prince Dipanagara’s Pilgrim’s Staff.
Tongkat Kiai Cokro oleh Pangeran Notoprojo lantas dijadikan hadiah untuk Gubernur Jenderal Jean Chrétien Baud kala mengunjungi Yogyakarta, medio Juli 1843. Penyerahan tongkat itu sebagai hadiah lantas diresmikan hitam di atas putih lewat nota Residen Valck, seperti yang diuraikan di atas.
Seiring mudiknya Baud ke Belanda dua tahun berselang, Tongkat Kiai Cokro tak luput diangkutnya. Ia terus menjadi koleksi keluarganya turun-temurun. Baru pada 2014, Rijksmuseum mengontak keturunan Baud untuk mengusulkan pengembaliannya.
Baca juga: Pelana dan Tombak Pangeran Diponegoro Punya Cerita
Proses pengembaliannya pun dilancarkan dengan sifat kerahasiaan antara pihak Belanda dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI. Kurator Rijksmuseum Harm Stevens menjabarkan dalam catatannya, Yang Silam Yang Pedas: Indonesia dan Belanda Sejak Tahun 1600, pusaka dikembalikan lewat kiriman diplomatik pada 27 Januari 2015 yang kemudian disusul kedatangan keturunan sang gubernur jenderal, Erica dan Michiel Baud.
“Barang itu dikirim sebagai pos diplomatik dengan peti bermaterai, juga dengan pesawat terbang ke Kedutaan Belanda di Jakarta. Dengan diam-diam saja karena beberapa orang dalam telah bersepakat agar untuk sementara jangan dulu mendengungkan penemuan ataupun perjalanan ini,” tulis Stevens.
Serah terimanya lantas digelar di Jakarta di sela pameran “Aku Diponegoro” di Galeri Nasional, Jakarta pada 2 Februari 2015. Penyerahannya direncanakan akan dilakukan langsung oleh Erica dan Michiel Baud kepada Presiden RI Joko Widodo, namun pada akhirnya diwakili Mendikbud Anies Baswedan.
“Jadi cover-nya (pameran) itu, diatur supaya ada event. Kemudian sehari-dua hari sebelumnya presiden ternyata ada acara ke Filipina,” kenang Anies dalam program “Kick Andy: Dosa-Dosa Anies” 18 Juni 2023 di Metro TV.
Tongkat Kiai Cokro lalu disimpan di Museum Nasional. Bersama sejumlah benda pusaka Pangeran Diponegoro yang –jadi bagian dari 472 benda bersejarah yang baru direpatriasi tahun ini– lain, kini Tongkat Kiai Cokro turut diperlihatkan dalam pameran pameran “Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara” di Galeri Nasional, Jakarta, yang dihelat sepanjang 28 November-10 Desember 2023.
Jarak Kantor Kecamatan dan Kantor Bupati ke Desa di Kecamatan Borobudur, 2020
Jarak Kantor Kecamatan dan Kantor Bupati ke Desa di Kecamatan Borobudur (Km), 2020
Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih adalah sebutan bagi bendera Indonesia yang pertama. Bendera Pusaka dibuat oleh Fatmawati, istri presiden Soekarno. Bendera Pusaka pertama kali dinaikkan pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Walaupun seharusnya Bendera Pusaka disimpan di Monas, Bendera Pusaka masih disimpan di Istana Negara.
Bendera Pusaka dijahit oleh istri Soekarno yaitu Fatmawati.[1] Desain bendera dibuat berdasarkan bendera Majapahit pada abad ke-13, yang terdiri dari sembilan garis berwarna merah dan putih tersusun secara bergantian.[2]
Bendera Pusaka pertama dinaikkan di rumah Soekarno di Jalan Pengangsaan Timur 56, Jakarta, setelah Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.[3] Bendera dinaikkan pada tiang bambu oleh Paskibraka yang dipimpin oleh Kapten Latief Hendraningrat. Setelah dinaikkan, lagu "Indonesia Raya" kemudian dinyanyikan secara bersama-sama.[2][4]
Pada tahun pertama Revolusi Nasional Indonesia, Bendera Pusaka dikibarkan siang dan malam. Setelah Belanda menguasai Jakarta pada 1946, Bendera Pusaka dibawa ke Yogyakarta dalam koper Soekarno. Ketika terjadi Operatie Kraai, Bendera Pusaka dipotong dua lalu diberikan kepada Husein Mutahar untuk diamankan. Mutahar diharuskan untuk "menjaga bendera dengan nyawa". Walaupun kemudian ditangkap lalu melarikan diri dari tentara Belanda, Mutahar berhasil membawanya kembali ke Jakarta, menjahit kembali, dan memberikannya pada Soedjono. Soedjono lalu kemudian membawa benderanya ke Soekarno, yang berada dalam pengasingan di Bangka.[4]
Setelah perang berakhir, Bendera Pusaka selalu dinaikkan sekali di depan Istana Negara pada Hari Kemerdekaan.[1] Namun karena kerapuhan bendera, sejak tahun 1968, bendera yang dinaikkan di Istana Negara adalah replika yang terbuat dari sutra.[5] Replika pertama ini dikibarkan selama 15 tahun sampai tahun 1984. Kemudian pada tahun 1985 yang mulai dikibarkan adalah replika kedua, sampai tahun 2014. Dan yang ketiga dikibarkan dari tahun 2015 sampai sekarang
Bendara Pusaka terdiri dari dua warna, merah di atas dan putih di bawah dengan ratio 2:3. Warna merah melambangkan keberanian, sementara warna putih melambangkan kesucian.[3] Namun, juga terdapat arti lain, salah satunya adalah merah melambangkan gula aren dan putih melambangkan nasi, keduanya adalah bahan yang penting dalam masakan Indonesia.[2]
"Bendera Pusaka" digunakan namanya untuk merujuk kepada Pasukan Pengibar Bendera Pusaka, atau kependekan nya Paskibraka; (bahasa Inggris: Heirloom Flag Hoisting Troop). Organisasi yang dibentuk oleh Husein Mutahar pada tahun 1968 ini bertugas sebagai pengibar dan penurun bendera pusaka (kini duplikat) pada upacara memperingati Kemerdekaan Republik Indonesia di tingkat lokal dan nasional serta fungsi internasional untuk Indonesia di luar negeri.[4]
Lambang dari organisasi paskibraka adalah bunga teratai
Bendera Negara Indonesia adalah bendera merah putih. Menurut aturan perundang-undangan, Bendera Negara ini disebut dengan Sang Merah Putih. Ini berbeda dengan Sang Saka Merah Putih atau istilah untuk Bendera Pusaka.
Lantas apa apakah berbeda antara Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih dengan Bendera Negara Sang Merah Putih?
Untuk memahami lebih lanjut, mari simak penjelasannya menurut Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, berikut ini:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam Pasal 5 UU Nomor 24 Tahun 2009, disebutkan bahwa Bendera Pusaka adalah Sang Saka Merah Putih. Yang dimaksud Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih adalah Bendera Negara yang dikibarkan saat Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta.
"Bendera Negara yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih disimpan dan dipelihara di Monumen Nasional Jakarta."
Saat ini, Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang asli disimpan dan dipelihara di Monumen Nasional Jakarta. Sementara yang kini digunakan untuk upacara bendera peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI setiap tanggal 17 Agustus di Istana Kepresidenan merupakan duplikat dari Bendera Pusaka yang asli.
Mengutip dari laman resmi Kemensetneg, Bendera Pusaka inilah yang dijahit dengan mesin jahit tangan oleh Ibu Fatmawati. Namun karena kerapuhan bendera tersebut, sejak tahun 1969, bendera yang dikibarkan untuk peringatan Proklamasi Kemerdekaan dan hari-hari besar nasional lain merupakan versi duplikatnya.
Sejauh ini, Bendera Pusaka sudah tiga kali diduplikasi. Pertama kalinya adalah pada tahun 1969 atas permohonan Husein Mutahar dan digunakan sampai tahun 1984. Kedua kalinya dilakukan pada tahun 1985 dan digunakan sampai tahun 2014. Ketiga kalinya adalah pada tahun 2015 dan yang digunakan hingga kini.
Dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2009, disebutkan bahwa Bendera Negara adalah Sang Merah Putih. "Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Bendera Negara adalah Sang Merah Putih."
Yang dimaksud dengan Sang Merah Putih adalah istilah resmi untuk menyebutkan Bendera Negara Indonesia alias bendera merah putih. Berbeda dengan penyebutan yang dikhususkan untuk Bendera Pusaka yakni Sang Saka Merah Putih, alias Bendera Negara yang pertama digunakan.
DARI sekian peninggalan Pangeran Diponegoro yang hampir dua abad disimpan di Belanda, ada satu yang punya cerita berbeda. Jika keris, pelana, hingga tombak pusakanya dirampas usai penyergapan Belanda pada 28 Maret 1830, yang ini, tongkat, baru berpindah tangan ke Belanda empat tahun pasca-Perang Jawa (1825-1830). Tongkat yang dimaksud adalah pusaka Kiai Cokro.
Dengan panjang 1,4 meter, Kiai Cokro bergagang besi serta ukiran besi berbentuk cakra setengah lingkaran di pucuknya. Sebuah dokumen di Arsip Nasional Belanda bertanggal 4 Desember 1834 berupa nota penyerahan pusaka dari Residen Yogyakarta Frans Gerardus Valck menyebutkan, tongkat itu mulanya milik penguasa Kesultanan Demak pada abad ke-16.
“Saat terjadi gejolak di Demak, tongkat itu jatuh ke tangan seorang wong cilik dan turun-temurun diwariskan sampai akhirnya 10 tahun sebelum Perang Jawa, tongkat itu dipersembahkan oleh seorang rakyat Jawa biasa kepada Pangeran Diponegoro,” demikian bunyi keterangan dalam nota tersebut.
Berbeda dari arsip tersebut yang menyebutkan bentuk cakra di pucuknya punya makna matahari, sejarawan Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 menguraikan, tongkat itu punya makna gelar Ratu Adil Jawa “Erucokro”. Tongkat itu kemudian dibawa sebagai pendamping kala Diponegoro melakukan perjalanan spiritual karena bentuk cakranya menyamai senjata Dewa Wisnu dalam mitologi Jawa.
“Ia (Pangeran Diponegoro) memulai perjalanan ziarah tujuh puluh kilometer ke berbagai gua dan tempat keramat di selatan Yogya. Dalam perjalanan yang dikenal di Jawa dengan tirakat dan ketika menyepi di Gua Secang (Selarong), ia berjalan seorang diri atau bersama dua pembantu dekatnya,” tulis Carey.