Siapakah malaikat Tuhan itu?
Konsep keesaan Tuhan dalam agama Buddha, sebagaimana disebutkan dalam kitab Sutta Pitaka, Udana VIII: 3, keesaan Tuhan diistilahkan dengan Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam dengan arti sesuatu yang tak dilahirkan, tak dijelmakan, tak diciptakan, dan bersifat Maha Mutlak. Keesaan Tuhan dalam agama Buddha lebih ditekankan pada konsep Impersonal Good atau dalam agama Hindi lebih dikenal dengan Brahma Nirguna. Dia yang dilukiskan sebagai Annata, sesuatu yang berwujud tanpa sosok dan tidak bisa dibandingkan atau disamakan dengan sesuatu apa pun. Dia yang ada di mana-mana dan tidak ke mana-mana.
Jika Ia digambarkan dalam benak tentang sosok Tuhan yang dimaksud, maka pasti bukan Dia, karena Yang Maha Dia adalah tidak pernah berwujud dalam keterbandingan atau ketakterbandingan. Sang Dia yang dilukiskan dalam berbagai kearifan lokal, termasuk kepercayaan Bugis, (baca: etnik Bugis, Makassar, dan Mandar) pra-Islam yang percaya kepada hanya satu Tuhan, yang dikenal dengan istilah Dewata Seuwae. Meskipun disebut Dewata Seuwae, anggota masyarakat tidak bisa memujanya secara langsung, tetapi harus melalui dewa-dewa pembantunya melalui tradisi adat leluhur (Attorio-Long). Dalam pelaksanaan adat Attoriolong ini juga dilibatkan perangkat adat yang juga berfungsi sebagai tokoh spiritual di bawah raja.
Kepercayaan Attoriolong menganggap matahari dan bulan itu sebagai Dewa. Karena itu, sejarah tradisi Bugis juga pernah melakukan pemujaan terhadap Arajang (Bugis) atau Kalompoang (Makassar) yang berarti kebesaran, yaitu melakukan upacara pemujaan terhadap benda-benda yang dianggap sakti, keramat, dan memiliki nilai magis. Benda-benda tersebut adalah memiliki raja, seperti tombak, keris, badik, perisai, paying, patung dari emas dan perak, kalung, piring, jala ikan, gulungan rambut, dll.
Dalam bahasa Bugis, kata De-wata bisa mempunyai beberapa arti. Jika ‘’De’watangna’’ berasal dari kata de (tidak) dan watang (ba-tang, wujud) berarti ‘’tanpa wujud’’, De’ watangna (tak berwujud). Sering dikatakan: ‘’Naiyya Dewata seuwae tekkeinnang’’ (Adapun Tuhan YME tidak beribu dan tidak berayah). Dalam Lontara Sang-kuru’ patau’ Mulajaji sering juga digunakan istilah ’’Puang Seuwa ETo Palanro E’’, yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta). Dengan demikian, konsep Dewata Seuwae adalah Tuhan YME dan tidak mempunyai wujud biasa seperti makhluknya. Kepercayaan dan kearifan lokal di dalam kepulauan Nusantara ini juga mengungkapkan hal yang sama beda, seperti sejumlah paham keagamaan yang bertebaran di Pulau Jawa.
Dalam kitab Tipitaka dijelaskan bahwa bila kita mendalami ajaran agama Buddha, maka tampak sedikit berbeda dengan dengan konsep Ketuhanan agama-agama samawi Yahudi, Kristen, dan Islam. Di dalam agama Buddha, tujuan terakhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan yang biasa disebut anuttara samyak sambodhi atau pencerahan sejati di mana batin manusia tidak perlu lagi mengalami proses yang bertahap. Paham agama Buddha agak lebih mirip dengan golongan qadariyah (kebebasan).
Dalam ajaran Buddha untuk mencapai itu pertolongan orang lain, maka tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa-dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Paham seperti ini ada miripnya dengan akiran Muktazilah dalam agama Islam.
Keesaan Tuhan dalam agama Buddha lebih bersifat bersifat non-teistik, yakni tidak menekankan Keberadaan Tuhan Sang Pencipta atau bergantung kepada-Nya, tetapi bagaimana mengejawantahkan sifat-sifat buddhisme. Sebagaimana disebutkan dalam artikel terdahulu bahwa Buddha Gautama sendiri juga tidak dilukiskan sebagai Tuhan, tetapi sebagai pembimbing atau guru yang menujukkan jalan menuju nirwana.
Buddha Gautama sendiri jarang menyebut kata Tuhan, tetapi lebih menekankan pentingnya kesucian perilaku di dalam menjalani kehidupan. Itulah sebabnya umat Buddha tidak terlalu dipusingkan dengan urusan-urusan dalam bentuk kehidupan duniawi karena Dialah Yang Maha Menentukan semuanya. Mungkin dari segi ini kalangan ahli perbandingan agama ada yang melihat agama Buddha lebih menonjol sebagai ajaran moral belaka.
Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Dialog Jumat Koran Republika, 1 Februari 2019.(lrf/mf/aj)
Ada anggapan di kalangan non-Buddhis yang menyatakan bahwa agama Buddha tidak mengenal Tuhan.
Sebenarnya anggapan ini tidak perlu terlalu dipusingkan atau diambil hati, terutama oleh umat Buddha sendiri, karena masing-masing agama tentunya memiliki “Tuhan” masing-masing. Wajar saja jika seseorang menyatakan, “Bagi saya Tuhan itu A, bukan B”, dan seterusnya. Dari sudut pandang tersebut, maka jika sudut pandang saya agama A, maka pasti saya akan memandang agama B tidak memiliki “Tuhan”, karena bagi saya, sosok “Tuhan-mu” bukanlah Tuhan. Anggaplah ini pandangan bahwa, “Buddhisme tidak memiliki Tuhan versi satu”. Secara pribadi saya tidak ambil pusing pada pandangan ini, karena sah-sah saja setiap orang punya kepercayaan yang berbeda.
Namun, tidak sedikit juga yang berpandangan bahwa Buddhisme juga tidak memiliki “Tuhan versi dua”. Mereka menganggap bahwa Buddhis hanya sekadar filsafat saja. Ilmu yang mempelajari agama adalah Teologi, asalnya dari kata “theos” yang berarti Tuhan dan “logos” yang berarti keilmuan, jadi keilmuan yang mempelajari Tuhan. Jika agama Buddha sama sekali tidak mengenal Tuhan, berarti Buddhisme tidak termasuk dalam ranah teologi. Kalau begitu, untuk apa ada agama Buddha? Haruskah Buddhisme dicoret dari daftar 6 agama di Indonesia?
Pemikiran seperti inilah yang perlu diluruskan, setidaknya di antara umat Buddha sendiri. Umat Buddha perlu memiliki pengetahuan yang menyokong spiritualitas kita dalam beragama, salah satunya adalah pengetahuan dan pemahaman tentang konsep ‘Ketuhanan’ dalam Buddhisme yang akan kita bahas di sini.
Buddhisme meyakini hukum sebab akibat yang saling bergantung, sehingga menyangkal filosofi sebab tunggal/causa prima/maha pencipta.
Kita sebagai umat Buddha pasti memegang konsep hukum karma atau sebab-akibat. Kita yakin bahwa segala fenomena yang kita alami merupakan akibat dari perbuatan kita sebelumnya. Dulu saya pernah mempertanyakan, “Jika Tuhan maha mengasihi, kenapa ada orang yang dilahirkan penuh penderitaan, kenapa ada yang penuh kebahagiaan? Tuhan pilih-pilih dong?”.
Berangkat dari pemikiran-pemikiran ini, pasti tak sedikit yang mempertanyakan apakah konsep Tuhan ini benar adanya. Bisa jadi ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan bertambahnya popularitas ateisme dan agnotisisme. Sang Buddha menawarkan pandangan yang berbeda. Ada satu sifat dasar alami yang universal yang meregulasi alam semesta ini, yaitu hukum karma. Jadi orang-orang yang penuh kebahagiaan merupakan akibat dari kebaikan yang diperbuatnya di masa lampau, begitu pula sebaliknya penderitaan. Berbagai sebab saling berkaitan dan menghasilkan akibat-akibat yang membentuk fenomena dunia seperti yang kita lihat dan alami sekarang.
Kita bisa jadikan pandemi COVID-19 sebagai contoh. Menurut Buddhisme, pandemi melanda dunia bukan karena Tuhan marah pada umat manusia sehingga menurunkan azab. Ini terjadi karena karma jutaan umat manusia saling terhubung dalam jalinan rumit yang akhirnya menghasilkan akibat berupa pandemi dan segala macam dampaknya. Itu pun dampaknya bisa dibilang tidak sama rata pada setiap orang. Ada yang menderita, ada yang baik-baik saja, semua tergantung karma masing-masing.
“Apakah ini bermakna bahwa Buddhisme tidak mengenal konsep penyebab yang memungkinkan eksisnya alam semesta beserta semua penghuninya?Jawabannya tidak juga karena hukum sebab akibat tetap berlaku. Namun, bagi seorang Buddhis, adalah absurd untuk menyatakan bahwa seisi dunia ini tercipta tanpa sebab atau karena sebab tunggal. Kalau begitu ceritanya, biji jambu bisa membuahkan pisang dan anjing bisa melahirkan kucing! Singkatnya dunia akan menjadi sebuah tempat yang kacau balau tanpa pola dan aturan.“
-Y.M. Biksu Bhadra Ruci
Agama Buddha berpandangan bahwa rantai sebab-akibat yang saling bergantungan merupakan proses yang tanpa awal dan tanpa akhir. Setiap akibat pasti ada sebab yang sebelumnya sesuai hukum karma, dan yang sebelumnya pasti ada sebelumnya lagi sampai waktu yang tak berujung ke masa depan maupun ke masa lampau. Demikianlah eksistensi bumi dan seisinya, bukan diciptakan oleh seorang bapak di atas langit, melainkan hasil dari berbagai sebab yang saling berkaitan dalam proses panjang yang tak bermula.
Konsep Ketuhanan dalam Buddhisme: Nirwana dan Dharmakaya Buddha
Berangkat dari penyangkalan konsep “pencipta” sebagai landasan filosofis, pertanyaan berikutnya adalah: jadi “Tuhan” seperti apa yang diyakini dalam Buddhisme? Buddhisme memiliki konsep yang dapat didefinisikan sebagai sifat “Ketuhanan” itu sendiri. Saya mengutip artikel yang ditulis oleh Bhikkhu Uttamo tentang “Ketuhanan dalam Agama Buddha”, bahwa Nirwana merupakan aspek Ketuhanan agama Buddha. Nirwana adalah pencapaian tertinggi yang telah dicapai oleh Siddharta Gautama yang mencapai tingkat Sang Buddha.
“Jadi, pengertian Nibbana/Nirwana atau Tuhan dalam Agama Buddha adalah “yang tidak terlahirkan”, “yang tidak menjelma”, “yang tidak bersyarat”, “yang tidak kondisi”, “yang tidak terpikirkan”, serta masih banyak kata ‘tidak’ lainnya. Secara singkat, Tuhan atau Nirwana adalah mutlak, tidak ada kondisi apapun juga.” -Y.M. Biksu Uttamo Mahathera
Ini sejalan dengan yang diutarakan pada bait 4 segel Dharma, yaitu “Nirvana is beyond concept”.
Sejalan dengan penjelasan-penjelasan di atas, teks-teks Buddhis lain juga menjabarkan bahwa saat mencapai kesempurnaan paramita, Buddha mencapai tubuh Dharma atau Dharmakaya. Ini merupakan tubuh yang kekal, ada di mana‐mana, bukan realitas perseorangan, esa, bebas dari pasangan yang berlawanan, ada dengan sendirinya. Dharmakaya ini di Indonesia kita kenali dengan sebutan Sanghyang Adi Buddha (Sumber: “ADI BUDDHA dalam AGAMA BUDDHA INDONESIA”).
Jadi, tentu saja umat Buddhis memiliki sosok yang memiliki sifat Ketuhanan. Oleh karena itu, kita perlu menjunjung sosok tersebut dengan penuh hormat melampaui objek-objek lain.
Baca juga: Hei Bambank, Buddha di Altar Bukan Cuma Patung Pajangan!
Apakah masih mengambang? Singkatnya Sang Buddha masih ada dan beraktivitas dengan berbagai cara untuk mematangkan batin kita agar bebas dari penderitaan. Tentang bagaimana Buddha bekerja, kita bisa cari tahu lebih banyak di berbagai kitab seperti “Pembebasan di Tangan Kita” Jilid II dan Uttaratantra.
Bagaimana Siddhartha Gautama bisa mencapai sifat Ketuhanan?
Pada dasarnya, berbeda dengan agama lain yang percaya pada kekuatan “Tuhan” sebagai objek pemujaan, Buddha Shakyamuni yang lahir dengan nama Siddhartha Gautama merupakan seorang penemu yang bisa melihat “hakikat dunia sebagaimana adanya”, lantas mencapai kesempurnaan seorang Buddha. Sebelum Siddhartha juga masih ada Buddha-Buddha lainnya yang mencapai tingkatan yang sama. Jadi, alih-alih Tuhan sebagai “sosok” yang mengatur semua hal di alam semesta, seorang Buddha bekerja demi menolong semua makhluk untuk menemukan “kebenaran” yang telah Beliau capai. Para Buddha membimbing para makhluk agar bebas dari penderitaan dan bisa mencapai tingkatan yang sama seperti mereka.
Di masyarakat Jawa, terdapat ungkapan “Manunggaling Kawula Gusti”, artinya diri kita menyatu dengan Ilahi. Ya, sebenarnya konsep ini sangat mirip dengan Buddhisme yang menyatakan bahwa setiap makhluk memiliki benih Kebuddhaan. Jadi, kita semua bisa mencapai apa yang dicapai oleh Sang Buddha juga, aspek-aspeknya adalah kesempurnaan kebijaksanaan dan welas asih. Bukan tak mungkin ungkapan ini merupakan warisan peradaban Hindu-Buddha yang hidup di Nusantara dan dilestarikan dalam jiwa masyarakat Jawa.
Buddhisme sebagai Agama
Ketika mendalami Buddhisme, seperti yang kita bisa ketahui dari pengajaran-pengajaran Sang Buddha selama di dunia, konsep asal muasal dunia atau yang biasa dalam ilmu teologi disebut “Tuhan” merupakan hal yang tidak penting untuk dibahas. Pengetahuan Sang Buddha bisa menjawab hal tersebut, namun Beliau memberikan pemaparan yang tercatat dalam “Culamalunkyaputta Sutta” (Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya II) sebagai berikut:
“Jika ada orang berkata: ‘Saya tidak akan melaksanakan penghidupan suci di bawah bimbingan Sang Bhagava bila Sang Bhagava tidak menerangkan padamu ‘dunia kekal’, ……. setelah meninggal, Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada’; karena hal itu belum diterangkan oleh Sang Tathagata maka orang itu akan mati. Misalnya, ada orang yang terkena panah beracun, lukanya dalam, karena kenalan dan keluarganya membawa seorang dokter operasi, tetapi orang itu berkata: ‘Saya tak mau dokter saya, kedudukannya, aramanya, apakah ia pendek atau tinggi, hitam atau cerah kulitnya, ia tinggal di kota atau di desa …. bentuk panah yang melukai itu. Hal-hal itu belum dapat diketahui, orang itu telah meninggal, demikian pula halnya dengan kamu, Malunkyaputta.”
Jadi fokus utama dari agama Buddha bukanlah teori-teori mengambang tentang Tuhan atau alam semesta karena ujung-ujungnya hal ini tidak terlalu berguna bagi diri sendiri dan tidak cukup membumi untuk dipraktikkan sehari-hari. Hal ini sebenarnya selaras dengan keilmuan teologi modern (Eka Darmaputera Ph.D, 2004) yang menekankan teologi yang kontekstual.
“Teologi adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman pada konteks ruang dan waktu tertentu, jadi teologi yang kontekstual, bagi saya adalah teologi itu sendiri”
Pada akhirnya, agama tidak akan bertahan jika hanya berada pada ide dan konsep saja, tapi harus membumi dan kontekstual. Bahkan Buddhisme kini dianggap sebagai agama yang paling relevan dengan zaman. Pew Research Center di Washington menyatakan bahwa Buddhisme adalah agama masa depan. Bukan hanya omong kosong, hal ini juga selaras dengan pernyataan dari tokoh Buddhis dunia paling dihormati, yaitu Y.M.S Dalai Lama XIV.
“Jika ilmu pengetahuan membuktikan bahwa ada kepercayaan di Buddhis yang salah, maka Buddhisme akan berubah.”
Jadi, sebagai seorang umat Buddha, kita tidak perlu ciut ketika dianggap tidak bertuhan. Justru Buddhisme menjunjung penalaran yang kuat sehingga keyakinan kita pada Buddha bukanlah keyakinan buta tak berdasar. Secara pribadi, saya sendiri justru semakin yakin bahwa hanya Buddhis yang bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan filosofis dalam yang masih menjadi ‘lubang’ pada ajaran agama lain, juga memberikan panduan menjalani kehidupan yang bermanfaat. Tentunya keyakinan ini hanya bisa datang dengan upaya proaktif dari diri kita sendiri untuk melakukan ehipassiko (datang, lihat, dan buktikan) dengan benar. Kita perlu melakukan usaha untuk benar-benar menelaah apa yang Buddha ajarkan, bukan menelan mentah-mentah opini yang muncul sepintas atau pilih-pilih ajaran yang bisa membenarkan pemahaman kita yang belum teruji kebenarannya.
Saya berharap artikel ini bisa mengangkat kepala kita semua sebagai umat Buddha Indonesia karena memang ajaran Sang Buddha itu besar dan kita sangat beruntung bisa memiliki jodoh dengan ajaran ini, jadi jangan sia-siakan kesempatan ini.
Tulisan ini terinspirasi dari buku “Bertuhan, Beragama, dan Hal-Hal yang Belum Selesai” karya Y.M. Biksu Bhadra Ruci. Jika ada kesalahan dan kecacatan, hal ini semata-mata karena penulis belum bisa menyampaikan dengan tepat gagasan dalam buku tersebut. Atas kekurangan ini saya memohon maaf.
“Bertuhan, Beragama, dan Hal-Hal yang Belum Selesai” karya Y.M. Biksu Bhadra Ruci
“Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya II”, diterbitkan oleh Proyek Sarana Kehidupan Beragama Buddha Departemen Agama RI, 1994.
“Ketuhanan dalam Agama Buddha” oleh Bhante Uttamo, diterbitkan di samaggi-phala.or.id
“Konteks Berteologi di Indonesia” oleh Eka Darmaputera Ph.D
“ADI BUDDHA dalam AGAMA BUDDHA INDONESIA” oleh Hudaya Kandahjaya
“Agama Buddha Agama Masa Depan” oleh Komala Somadevi, diterbitkan di buddhazine.com